Sabtu, 13 April 2013

Menanti Kelahiran Seorang Anak (Rare) Menurut Hindu

Pada umumnya setiap ibu yang mengandung menginginkan anak yang dikandungnya bisa lahir normal, hal itu sesuai dengan tujuan ajaran Kanda Empat Rare. Berkaitan atau berhubungan dengan kelahiran seorang bayi, bisa diperkirakan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

Perhitungan Bayi Lahir
a) Minggu, kemungkinan lahir jam : 6, 7, 11, 1 atau jam 5
b) Senin, kemungkinan lahir jam : 8, 10, 1, 3 atau jam 5
c) Selasa, kemungkinan lahir jam : 7, 10, 12, 2 atau jam 5
d) Rabu, kemungkinan lahir jam : 7, 9, 11, 2 atau jam 4
e) Kamis, kemungkinan lahir jam : 8, 11, 1, 3 atau jam 4
f) Jumat, kemungkinan lahir jam : 8, 10, 12, 3 atau jam 4
g) Sabtu, kemungkinan lahir jam : 7, 9, 12, 2 atau jam 2
Perhitungan ini berlaku untuk hitungan waktu pagi, siang, sore dan malam. Yang dapat diartikan kalau tidak jam 6 pagi, berarti jam 6 sore dan seterusnya. Perhitungan ini berlaku untuk situasi normal yang berarti kondisi bayi dalam perut tidak bermasalah, baik menyangkut posisi bayi maupun kesehatannya. Perhitungan itupun punya batasan toleransi yang benar. Misalnya, menurut perhitungan anak itu lahir jam 6 pagi, maka jam 6 pagi itu berlaku mulai 5 menit setelah jam 5 an berakhir 5 menit sebelum jam 7. Begitu juga dengan jam-jam yang lainnya.

Jata Karma
Disebut juga tutug sasihan antara umur kandungan 9 sampai 10 bulan. Pada waktu bayi lahir diikuti oleh nyamane catur (saudara empatnya) yang terdiri dari : yeh nyom, getih, ari-ari, lamas/puser. Pada saat kelahiran bayi, dibuatkan suatu upacara kecil seperti : banten pemagpag rare dan dapetan. Yang terpenting diperhatikan bagi bapak si bayi yaitu membersihkan semua kotoran yag diakibatkan oleh persalinan tersebut, termasuk juga ari-arinya. Pada waktu melakukannya tidak boleh ada perasaan jijik di dalam hati, lakukan dengan penuh kasih dan sukacita.

Menanam Ari-ari
Hal yang perlu diperhatikan pada saat menanam ari-ari yaitu : ari-ari yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam kelapa yang sudah dibelah dua, dan ditulis dengan rerajahan, yang disebelah atasnya dengan "Ongkara", dan yang sebelah bawah di rajah dengan tulisan "Ongkara-Angkara-Ahkara". Selanjutnya diisi duri-duri, isin caeraken anget-anget, wangi-wangian dan sedah selasih. Semua itu kemudian di bungkus dengan kain kasa (kain putih), kemudian di tanam di halaman depan rumah di samping pintu, apabila laki-laki di samping kanan, bila perempuan di samping kiri. Dengan catatan pengertian samping kanan-kiri dilihat dari dalam rumah.
Sebelum ditanam terlebih dahulu diucapkan mantra : "Om ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amwerta sanjiwani, amertani kang sarwa tunuwuh, si ... (nama anak) ... moga-moga dirgahayusa. Pomo-pomo-pomo". Selanjutnya baru ditimbun (urug) dengan tanah. Di atas timbunan tanah diletakkan batu pipih, dan ditancapkan pohon pandan wong. Di atas batu tersebut, disajikan nasi kepelan dengan alas don dadap, sedikit lauk-pauk, garam dan arang, lalu disiram dengan air. Tancapkan juga kelangsah dan sanggah cucuk (hiasi dengan bunga merah), serta baleman dan lampu. Selama 42 hari, tiap malam lampu dinyalakan. Terhadap bayi dan Sang Catur Sanak buatkan banten dapetan. Ari-ari tersebut diumpamakan layon (Panca Mahabhuta). Sanggah Cucuk merupakan linggih Sang Hyang Bhuta-Bhuti/Bhuta Pati. Dimana sanggah tersebut harus dibanteni. Canang sari munggah di sanggah, kemudian dibawahnya nasi empat kepel, warna putih, merah, kuning dan hitam, atau segehan manca warna, serta banten saiban. Adapun maksud dan tujuannya adalah untuk mendoakan agar sang bayi kedirgayusan, selamat dan panjang umur.

Begitulah sekiranya seorang bayi atau rare mulai kelahirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar